It's real life, not a movie

Sewaktu kecil saya seringkali berkhayal dan membayangkan bahwa hidup ini ibarat sebuah sinetron. Layaknya dalam sebuah cerita, di sinetron selalu ada pemeran utama, pemeran figuran, protagonis, antagonis dsb.

Lalu rohmat kecil bertanya, siapa sih pemeran utama dalam kehidupan nyata ini? Haha what a silly question... wajar lah kan masih kecil. Lalu saat itu saya pun menyimpulkan bahwa saya lah pemeran utama dari cerita kehidupan ini. Saya juga adalah tokoh protagonis. Sehingga saya beranggapan bahwa semua cerita harus berpusat ke saya dan saya lah yang benar.

Fikiran itu kini muncul lagi di usia saya yang sudah berkepala dua. Haha silly, isn't it? Kalo saya menganggap saya adalah pemeran utama, maka orang lain juga pasti menganggap dirinya adalah pemeran utama. Lah kalo semua orang jadi pemeran utama, repot dong!

Setiap orang ingin menjadi pemeran utama atas cerita kehidupannya. Ketika permasalahan muncul, setiap orang akan mencari pembenaran untuk dirinya sendiri. Saat seseorang mengalami konflik dengan seseorang yang lain, masing2 akan mencari pendukung yang mau mengatakan bahwa dirinya benar dalam kasus ini, kasus itu dst. Entah itu teman, keluarga, kerabat, tetangga dll.

Dengan begitu, pasti si Fulan yang punya masalah dengan kita adalah tokoh antagonis yang serba buruk. Si Fulan pun menganggap kita sama sebagaimana kita menganggap si Fulan. Jadi, yang bener siapa dong??

Akan sulit ditemukan penyelesaian permasalahan jika yang kita cari adalah siapa yang benar dan siapa yang salah. Gimana gak sulit, wong yang dicari bukan solusi tapi pembenaran. Toh setelah diketahui siapa yang benar dan siapa yang salah, masalah belum tentu selesai. Tambah lagi, pasti ada salah satu yang sakit hati.

NB : Benar salah di sini adalah benar salah dalam hal anggapan. Mengenai kebenaran dalam sisi agama atau keyakinan, saya lebih memilih bersikukuh dengan kebenaran itu tanpa dikompromikan.

Lubang hidungku ada dua, punyamu juga dua

Rapat kedua dengan user membahas requirement project dengan salah satu perusahaan di Surabaya. Ini adalah project kedua setelah project yang sedang kami kerjakan ~dan sudah memasuki tahap implementasi~ di softwarehouse yang sekarang. Rapat berjalan cukup lancar dari jam dua siang sampai sekitar jam setengah lima sorean. Dan pulanglah kita sambil mampir ke salah satu warung soto terkenal di Surabaya ~tapi saya ga ingat namanya hehe~. Si bos yang rumahnya berada antara perusahaan tempat meeting dengan lokasi kerja saya tiba2 nge-drop kita ~yang waktu itu ada saya dan pimpro~ di sekitar rumahnya karena beliau kena migrain. Walhasil kita dikasi duit buat naik taksi sampe tempat kerja... wowhowhwohwo girangnya hatiku karena sebagai orang kampung, ini pertama kalinya saya naik taksi. Katrok sih hehe, tapi kebahagiaan itu kan bukan dari wujudnya, tapi dari cara mensyukurinya ~cieeehh tumben saya ngomong bener~.

Kebetulan kita diturunin pas tempat mangkal taksi, naik lah kita dan capcay ~kayak nama makanan~. Kita ngobrol dengerin sopir taksi bercerita tentang macem2. Mulai dari beliau bilang kalo memiliki harta itu harus diinfakkan biar berkah dan enak dimakan, biar ga nimbulin penyakit. Habis itu beliau cerita kalo beliau pernah dicurhatin sama seorang pimpinan salah satu perguruan tinggi terkenal di Surabaya. Sambil menangis si pimpinan bercerita mengenai susahnya menjadi pemimpin yang mengajak staffnya tidak korup, tapi malah dianya dijauhi dan tidak dihormati ~hmm hmm angguk angguk geleng geleng~. Pikir gw saya saat itu, "Gila bijak banget ni sopir taksi, salut BOSS!!!", sampe sesaat kemudian di perempatan lampu merah Panjangjiwo, ada sebuah mobil pickup/box kecil membawa kardus2 bekas dan rongsokan2 laiinya ~agak overload sih~ mogok. Ada dua polisi dorong tu mobil sampe pinggir ~gg nih pak polisi, like this!~.

Sesaat setelah saya Like this momen itu, pak kusir sopir taksi mulai ngasi comment ~versi aslinya pake bahasa jawa~ yang intinya gini, "Nah lo mogok, emang dasar Madura ya kayak gitu. Liat aja, abis itu pasti rongsokannya ditumpuk-tumpuk sampe ngganggu tetangganya. Pernah tu mas, mobilnya nyantol kabel listrik trus dianya ga mau bertanggungjawab". Sontak dalam hati saya, "Oh Mai Jod Masya Alloh gile ni orang, gile segile-gilenye". Saya tiba2 tersadar dari anggapan naif saya bahwa didunia ini sudah tidak ada rasisme. Tulisan2 kisah mengenai rasisme di forum2 itu ternyata benar adanya, rasisme masih merajalela ~lebih dari sekedar ada~. Label "RASIS" makin melekat di sosok si supir taksi setelah beliau melanjutkan ceritanya mengenai orang batak, ambon, dll dll dll. For God Shake!!! Apa yang salah dengan mereka???

Jika kita menyalahkan orang karena dia melakukan pencurian, pembunuhan, perampokan, kenakalan, brutal dan berbagai tindakan buruk lainnya, itu sah2 saja. Artinya kita menyalahkan orang karena hasil perbuatannya. Lalu pantaskah kita menyalahkan orang mengenai sesuatu yang bukan menjadi pilihannya untuk melakukan atau tidak melakukannya???. Ya... mereka tidak pernah memilih dilahirkan di makasar ataupun medan yang menjadikan karakter meraka 'keras', mereka juga tidak pernah memilih dilahirkan di Surabaya yang menjadikan kata2 mereka kasar ~meski kata Si Ikin, hati mereka tetap lembut walau kata2nya kasar~. Mereka yang keturunan Cina juga tidak memilih, tidak request pada Alloh untuk diciptakan sebagai orang Cina yang mewarisi sifat ulet dan pelit cermat dalam mengatur pengeluaran.

Kalo saya disuruh memilih, maka saya ~sebagai orang jawa~ lebih memilih mengagumi orang Madura dengan kegigihannya dan orang China dengan ketelitiannya. Tapi dengan demikian, saya juga akan menjadi orang yang rasis, tidak jauh beda dengan 'mereka' yang rasis. Cuman bedanya mereka rasis dengan merendahkan, saya rasis dengan meninggikan dan mengagungkan.

Jadi saya lebih memilih untuk menilai orang sebagai "manusia" yang setiap orang di dunia ini memiliki bentuk yang sama. Sama2 memiliki dua tangan, dua kaki, dua mata, dua sisi ~baik dan buruk~, dua telingan bersama dua lubangnya, dua lubang hidung, dua sisi otak, dan kesamaan2 lainnya. Semua memiliki potensi untuk menjadi baik ataupun buruk. Mungkin rasisme hanyalah sebuah kecemburuan sosial karena pihak pendatang lebih sukses dibanding pihak lokal. Padahal pihak pendatang juga tidak merasa dirinya sebagai pendatang, mereka juga sudah menyatu padu dengan tempat mereka hidup. So.. masihkan ada bedanya soal asal muasal???

Seperti dalam film My Name Is Khan, "Di dunia ini tidak ada Hindu dan Muslim, yang ada adalah orang baik dan orang jahat". Kecuali soal akhirat, biar Alloh yang menilai :D

NB : Kalo ga ada mereka para pengumpul rongsokan dan kardus bekas, mungkin LPA Dinoyo sudah tidak mampu menampung sampah dari kita saya yang menhasilkan sampah tanpa kontrol.